melihat hujan,
merasakan cipratan air,
melihat bayangmu,
dan merasakan kehadiranmu disini,
kembali ke belakang,
mengingat... mengenang dan berfikir,
dulu, saat pertama kenal,
saat pertama bertemu, dan saat pertama tau,
tak menyangka akan seperti ini jadinya,
dekat, dekat dan semakin dekat...
entah akan bisa seterusnya dekat atau akan bisa jauuh....
entah akan bisa bersama atau berpisah,
hanya ingin kepastian, yang entah kapan datang,
dan biarkan waktu yang menjawab...
Minggu, 21 Oktober 2012
lelah hanya sementara
Ketika tak ada tangan yang mau dan mampu untuk menggandeng,
ketika kaki tak kuat berjalan dan tak ada yang menopang,
maka cobalah untuk tetap melangkah,
tetaplah meneruskan langkah,
perlahan tapi pasti,
meskipun berat tapi percayalah, lelah itu hanya sementara..........
ketika kaki tak kuat berjalan dan tak ada yang menopang,
maka cobalah untuk tetap melangkah,
tetaplah meneruskan langkah,
perlahan tapi pasti,
meskipun berat tapi percayalah, lelah itu hanya sementara..........
Label: celoteh'ku
celoteh'ku
Minggu, 14 Oktober 2012
entah....
Setidaknya aku sudah diberi kesempatan untuk mengenalmu,
meskipun mungkin hanya sebentar..
entah apa yang akan terjadi nanti,
dan entah bagaimana kamu nanti,
bagaimana aku nanti,
bagaimana kita nanti,?
meskipun sulit, tapi pasti yang terbaik,
entah akan menyunggingkan senyuman,
atau akan meneteskan air mata,
entah akan melegakan perasaan,
atau akan menyesakkan dada,
yang bisa ku pahami sekarang adalah saat-saat bisa mengenalmu itu adalah saat-saat bahagia,
terimakasih :')
meskipun mungkin hanya sebentar..
entah apa yang akan terjadi nanti,
dan entah bagaimana kamu nanti,
bagaimana aku nanti,
bagaimana kita nanti,?
meskipun sulit, tapi pasti yang terbaik,
entah akan menyunggingkan senyuman,
atau akan meneteskan air mata,
entah akan melegakan perasaan,
atau akan menyesakkan dada,
yang bisa ku pahami sekarang adalah saat-saat bisa mengenalmu itu adalah saat-saat bahagia,
terimakasih :')
Label: celoteh'ku
celoteh'ku
Sabtu, 13 Oktober 2012
ANALISA SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA SENGKETA KPI VS PRESIDEN cq KOMINFO
ANALISA SENGKETA
KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA
SENGKETA KPI VS PRESIDEN
cq KOMINFO
Kelas
Disusun Oleh :
1. Ajeng Astrina Mulia /E0010011
2. Alfian Yudha
Prasetya /E0010020
3. Andini Fitri Hapsari /E0010032
4. Aryani Widhiastuti /E0010055
5. Ginanjar Riskyta Y /E0010155
6. Irma Sri Rejeki /E0010187
7. Veronica Woro AP /E0010346
8. Yolanda Rahma A /E0010362
9. Yupie Cahya B /E0010367
10.Yusnita Puspita D /E0010368
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Berbicara mengenai lembaga negara
berarti berbicara mengenai alat kelengkapan yang ada dalam sebuah negara. Alat
kelengkapan Negara berdasarkan teori klasik hukum negara meliputi, kekuasaan
eksekutif, dalam hal ini bisa Presiden atau Perdana Menteri atau Raja;
kekuasaan legislatif, dalam hal ini bisa disebut parlemen atau dengan nama lain
seperti Dewan Perwakilan Rakyat; dan kekuasaan yudikatif seperti Mahkamah Agung
atau supreme court. Kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif ini sama
seperti Teori Trias Politika yang dicetuskan oleh Montesquee. Setiap alat
kelengkapan negara tersebut bisa memiliki organ-organ lain untuk membantu
melaksanakan fungsinya.
Lembaga Negara atau
lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan nondepartemen atau lembaga Negara
saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh
Undang-undang Dasar, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya
berdasar Keputusan Presiden. Hierarki atau ranking kedudukannya tentu saja
tergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Lembaga Negara yang
dibentuk Undang-Undang Dasar merupakan organ konstitusi, sedangkan yang
dibentuk berdasarkan Undang-Undang merupakan organ Undang-Undang, sedangkan
yang dibentuk karena Keputusan Presiden tentu lebih rendah lagi tingkatan dan
derajat perlakuan hukum terhadap pejabat-pejabat yang duduk di dalamnya.
Demikian pula jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan
Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya.
Keberadaan berbagai macam lembaga Negara
yang bisa dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar, Undang-Undang atau oleh
Peraturan yang lebih rendah. Lembaga Negara yang dibentuk karena Undang-Undang
Dasar misalnya adalah Presiden, MPR, DPR, DPD, MK, MA, BPK, TNI, Polri, Bank
Sentral, KPU (Komisi Penyelenggara Pemilu), dan Komisi Yudisial. Yang dibentuk
karena Undang-Undang misalnya KPK, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan
sebagainya.
Di samping lembaga-lembaga Negara yang
telah disebutkan di atas, ada pula lembaga-lembaga Negara yang lainnya yang
dibentuk berdasarkan Peraturan yang lebih rendah, seperti Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden. Beberapa di antaranya adalah Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP),
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Komisi Banding Paten, Komisi
Banding Merek, Komisi Nasional Anti Kekerasan Pada Perempuan, Dewan Pertanahan
Naisonal, BP Migas dan BPH Migas, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia
(BRTI) dan sebagainya.
Keberadaan lembaga Negara yang beraneka
ragam di Indonesia dalam pelaksanaanya tentu tidak semudah seperti yang kita
bayangkan. Banyak hal yang mungkin dapat terjadi dalam hubungannya antar
lembaga Negara, seperti sengketa misalnya.
Berdasarkan uaraian yang telah
disebutkan di atas, maka dalam makalah ini akan mengupas lebih dalam mengenai
analisis terhadap sengketa antar lembaga Negara yang ada di Indonesia.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Apakah KPI termasuk Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945?
1.2.2
Bagaimana pertimbangan Hakim Konstitusi dalam putusan atas sengketa antara KPI
dan Kominfo?
1.3
Tujuan Penulisan
1.3.1 Dapat mengetahui apakah KPI termasuk Lembaga
Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
1.3.2
Dapat mengetahui pertimbangan Hakim Konstitusi dalam putusan atas sengketa
antara KPI dan Kominfo.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Kewenangan yang dimiliki KPI
Komisi Penyiaran Indonesia atau
disingkat KPI pada tahun 2006 mengajukan permohonan perkara kepada Mahkamah
Konstitusi dengan termohon Presiden RI cq Menteri Komunikasi dan Informasi RI yang diwakili oleh Dr. S. Sinansari Ecip; Sasa Djuarsa
Sendjaja, Ph.D; Dr. H. Andrik Purwasito, D.E.A., dkk. atas pokok
sengketa adanya surat dari Departemen Kominfo tanggal 17 Oktober 2006 perihal
penyesuaian izin penyelenggaraan penyiaran bagi lembaga penyiaran swasta yang
telah memiliki Izin Stasiun Radio dari Direktorat Jenderal Pos dan
Telekomunikasi dan/atau Izin Siaran Nasional untuk Televisi dari Departemen
Penerangan di Wilayah Propinsi DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Jawa
Tengah. Dalam hal ini KPI berpendapat bahwa Depkominfo telah melangkahi
wewenangnya yaitu dalam pemberian dan perpanjangan izin penyiaran.
Setelah Menkominfo memberikan izin,
barulah ia memberitahukannya kepada KPI. Dasar hukum surat dari Depkominfo
tersebut adalah Peraturan Pemerintah, sedangkan pernyataan KPI berlandaskan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Sengketa antara Komisi
Penyiaran Indonesia dan Presiden cq. Kominfo ini telah sempat diajukan ke
Mahkamah Konstitusi, namun Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan
bahwa permohonan tersebut tidak dapat diterima. Hal tersebut dikarenakan tidak dipenuhinya
syarat-syarat formalitas dalam beracara di pengadilan, yaitu bahwa KPI (Komisi
Penyiaran Indonesia) bukan merupakan lembaga yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar 1945 melainkan oleh Undang-Undang, sehingga KPI tidak
memenuhi syarat kedudukan hukum (legal
standing) sebagaimana ditentukan Pasal
61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi untuk
mengajukan permohonan.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
Tentang Penyiaran, Bab II, Pasal 7 disebutkan bahwa KPI sebagai lembaga negara
yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Demikian pula
dengan lembaga-lembaga seperti KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), KPU (Komisi
Pemilihan Umum), PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), KPPU
(Komisi Pengawas Persaingan Usaha), dan sebagainya yang dibentuk berdasarkan
ketentuan Undang-Undang. Pada umumnya lembaga-lembaga ini bersifat independen
dan mempunyai fungsi campuran antara sifat legislatif, eksekutif, dan / atau
sekaligus legislative (Asshiddiqie, 2010:21).
Menurut Indrayana (seperti dikutip dalam
Insani, 2009:2) bahwa kemunculan
lembaga independen di Indonesia, dalam literatur dikenal sebagai state auxiliary agencies karena sifatnya
membantu/menunjang pelaksanaan kekuasaan negara tertentu baik di bidang
eksekutif, legislatif (regulatif) dan yudikatif (peradilan). Dalam hal ini, KPI
merupakan lembaga independen yang tidak bertanggungjawab terhadap siapapun dan
sebagai lembaga pembantu pelaksanaan kekuasaan negara di bidang legislatif. KPI merupakan representasi publik karena
mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingannya dalam mengatur penyelenggaraan penyiaran (Rahayu,
Jurnal ISJD, Vol 7, No 2, November 2003:33). Pengaturan mengenai KPI terdapat
dalam beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2002 Tentang penyiaran, Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 1 Tahun 2007 Tentang
Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia.
Tugas dan wewenang KPI dalam
Pasal 8 ayat (2) UUP diantaranya:
a.
menetapkan standar program siaran;
b.
menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran;
c.
mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar
program siaran;
d.
memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman
perilaku penyiaran serta standar program siaran;
e.
melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga
penyiaran, dan masyarakat.
Melihat dasar hukum yang digunakan
sebagai pembelaan dari masing-masing pihak, yaitu KPI berlandaskan:
- Pasal
1 ayat (14) UU Penyiaran mengatur :
Izin
Penyelenggaraan Penyiaran adalah hak yang diberikan oleh negara kepada lembaga
penyiaran untuk menyelenggarakan penyiaran.
- Pasal
33 ayat (4) dan (5) UU Penyiaran mengatur:
Ayat
(4): Izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara
setelah memperoleh: (a) masukan dan hasil evaluasi dengar pendapat antara
pemohon dan KPI; (b) rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI;
(c) hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus untuk
perizinan antara KPI dan Pemerintah; dan (d) izin alokasi dan penggunaan
spektrum frekuensi radio oleh Pemerintah atas usul KPI.
Ayat
(5) : Atas dasar hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf c,
secara administratif izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh Negara
melalui KPI.
Prosedur
pengaturan struktur sistem penyiaran yang menurut UU No.32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran seharusnya dikelola masyarakat melalui KPI ternyata dipotong begitu
saja oleh PP No. 49, 50, 51, dan 52 (paket Peraturan Pemerintah (PP) tentang
penyiaran yang terbit tahun 2005) (KPI,107).
Dari
pihak Menkominfo berlandaskan pada Peraturan Pemerintah. Menanggapi hal
tersebut, kami berpendapat bahwa yang dimaksudkan dalam salah satu PP tersebut
yaitu PP Nomor 50 Tahun 2005 pada Pasal 4 ayat (2) yaitu “untuk memperoleh
izin penyelenggaraan penyiaran
Lembaga Penyiaran Swasta, Pemohon mengajukan permohonan
izin tertulis kepada Menteri melalui KPI,
dengan mengisi formulir
yang disediakan dan
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah
ini”; Pasal 5 ayat (9), “Forum Rapat Bersama
sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) diselenggarakan dalam
rangka pemberian persetujuan
atau penolakan izin
penyelenggaraan penyiaran melalui
penilaian bersama terhadap rekomendasi kelayakan
penyelenggaraan penyiaran dan
usulan alokasi dan penggunaan
spektrum frekuensi radio
dari KPI serta
terpenuhinya persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)”,
ayat (10) “Menteri menerbitkan keputusan
persetujuan atau penolakan
izin penyelenggaraan penyiaran
sesuai dengan hasil kesepakatan dari Forum Rapat Bersama”.
Isi dari beberapa pasal dalam Peraturan
Pemerintah tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Penyiaran, dimana dalam
Undang-Undang Penyiaran, KPI berwenang secara penuh dalam pemberian izin dan
perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran, berbeda dengan apa yang disebutkan
dalam PP yaitu bahwa KPI harus bermusyawarah bersama Menteri dalam pemberian
persetujuan atau penolakan izin penyelenggaraan penyiaran, dan menteri yang
berwenang menerbitkan keputusan persetujuan.
Bahwa seharusnya suatu Peraturan
Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, hal ini sebagaimana
dalam hierarki peraturan perundang-undangan yaitu bahwa peraturan yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Hierarki
peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Bab III, Pasal 7 ayat
(1):
7. Peraturan Daerah
Kabupaten / Kota.
Sehingga ketentuan yang berlaku
merupakan ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Penyiaran. Dalam hal ini
berlaku asas Lex superiori derogat lege
priori, peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih
rendah.
Melihat perselisihan di atas, maka perlu
adanya penyelarasan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Peraturan
perundangan yang akan dibuat harus sesuai dengan peraturan yang telah di buat,
sehingga harus banyak melakukan pengkajian terhadap peraturan
perundang-undangan yang ada.
2.2
Pertimbangan Hakim Konstitusi dalam
putusan atas sengketa antara KPI dan Kominfo
Perlu
diperhatikan mengenai perlu atau tidaknya pertimbangan – pertimbangan Hakim
Konstitusi dalam putusan atas sengketa antara KPI dan Kominfo guna memperoleh
kejelasan terhadap siapa yang lebih memiliki kewenangan atas sengketa yang
terjadi.
Berikut
ini adalah amar Putusan dalam Putusan atas Sengketa antara KPI dan Kominfo
mengenai kewenangan yang dimiliki kedua lembaga Negara tersebut adalah :
Menimbang, bahwa dalam
pelaksanaan kewenangan Mahkamah untuk mengadili dan memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, Mahkamah telah
menyatakan pendiriannya, sejak Putusan Mahkamah Nomor 004/SKLN-IV/2006;
Menimbang, bahwa dalam
pelaksanaan kewenangan Mahkamah untuk mengadili dan memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, Mahkamah telah
menyatakan pendiriannya, sejak Putusan Mahkamah Nomor 004/SKLN-IV/2006;
Dalam
pertimbangan hukum Putusan Mahkamah tersebut antara lain : “Mahkamah dalam
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu permohonan sengketa kewenangan lembaga
negara harus mempertimbangkan adanya hubungan yang erat antara kewenangan dan
lembaga yang melaksanakan kewenangan tersebut. Sehingga, dalam menetapkan
apakah Mahkamah berwenang untuk memeriksa permohonan sengketa kewenangan lembaga
negara, Mahkamah harus mengaitkan secara langsung pokok yang disengketakan (objectum
litis) dengan kedudukan lembaga negara yang mengajukan permohonan, yaitu
apakah kepada lembaga negara tersebut kewenangan itu diberikan, sehingga dengan
demikian masalah kewenangan dimaksud terkait erat dengan legal standing Pemohon
yang akan menentukan berwenang atau tidaknya Mahkamah dalam memeriksa,
mengadili, dan memutus permohonan a quo ..... Penempatan kata ‘sengketa
kewenangan’ sebelum kata ‘lembaga negara’ mempunyai arti yang sangat penting,
karena hakikatnya yang dimaksud oleh Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 adalah memang
‘sengketa kewenangan’ atau tentang ‘apa yang disengketakan’ dan bukan tentang
‘siapa yang bersengketa’. Pengertiannya akan menjadi lain apabila perumusan
Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 itu berbunyi :
‘... sengketa lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar’. Dalam rumusan
yang disebut terakhir, hal yang merupakan pokok persoalan adalah pihak yang
bersengketa, yaitu lembaga negara, dan tidak menjadi penting tentang objek
sengketanya. Sehingga apabila demikian rumusannya, maka konsekuensinya Mahkamah
Konstitusi akan menjadi forum penyelesai sengketa lembaga negara tanpa
mempertimbangkan materi yang dipersengketakan oleh lembaga negara, dan hal
demikian menurut Mahkamah bukanlah maksud dari Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945.
Karena, apabila dirumuskan “... sengketa lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar”, Mahkamah Konstitusi akan berwenang untuk
memutus sengketa apa pun yang tidak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan
persoalan konstitusionalitas kewenangan lembaga negara, sepanjang yang
bersengketa adalah lembaga negara .....
Menimbang, bahwa kata ‘lembaga negara’ terdapat dalam Pasal 24C Ayat
(1) UUD 1945, sehingga Mahkamah harus menetapkan lembaga negara mana yang
dimaksud oleh Pasal 24C Ayat (1) tersebut. Dalam menetapkan siapa yang dimaksud
dengan lembaga negara oleh Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah berlandaskan
pada uraian di atas bahwa kewenangan Mahkamah adalah untuk memutus sengketa
kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, sehingga untuk menentukan apakah
sebuah lembaga sebagai lembaga negara sebagaimana dimaksud Pasal 24C Ayat (1)
UUD 1945, maka yang pertama-tama harus diperhatikan adalah adanya kewenangan
tertentu dalam Undang-Undang Dasar dan baru kemudian kepada lembaga apa
kewenangan-kewenangan tersebut diberikan. Karena kewenangan sifatnya terbatas
dan untuk sesuatu hal yang tertentu, maka sifat kelembagaan negara tidaklah
dapat ditentukan secara umum, tetapi terkait dengan kewenangan yang diberikan
atau dengan kata lain sebuah lembaga yang disebut dengan nama apapun
berkedudukan sebagai lembaga negara menurut pengertian Pasal 24C Ayat (1) UUD
1945 apabila lembaga tersebut mempermasalahkan atau dipermasalahkan
kewenangannya yang diberikan oleh UUD 1945 .....
Menimbang, bahwa rumusan ‘sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar’ mempunyai maksud bahwa hanya
kewenangan yang diberikan oleh UUD saja yang menjadi objectum litis dari
sengketa dan Mahkamah mempunyai wewenang untuk memutus sengketa yang demikian.
Ketentuan yang menjadi dasar kewenangan Mahkamah tersebut sekaligus membatasi
kewenangan Mahkamah, yang artinya apabila ada sengketa kewenangan yang tidak
mempunyai objectum litis ‘kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar’, maka Mahkamah tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus. Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian itulah yang dimaksud oleh
UUD 1945. Sengketa kewenangan yang kewenangan tersebut diberikan oleh
undang-undang tidaklah menjadi kewenangan Mahkamah.
Menimbang, bahwa
dilihat dari subjectum litis dalam permohonan ini, Pemohon adalah KPI
dan Termohon adalah Presiden cq. Menteri Komunikasi dan Informatika.
Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 4 Ayat (1), Pasal (5), dan
Pasal (7) UUD 1945, Presiden cq. Menteri Komunikasi dan Informatika
adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Oleh karena
itu, Termohon merupakan subjectum litis dalam perkara a quo.
Sementara itu, UUD 1945 tidak menyebut, apalagi memberikan kewenangan
konstitusional kepada KPI. Dengan demikian, keberadaan KPI bukanlah merupakan
lembaga negara sebagaimana dimaksud Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal
61 Ayat (1) UU MK; Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan,
kewenangan konstitusional Pemohon mengalir secara derivative dari Pasal
28F UUD 1945, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Bahwa Pasal 28F UUD
1945, berbunyi, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”;
Pasal 28F UUD 1945
tersebut, mengatur tentang hak setiap orang untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi, dan bukan mengatur hak dan/atau kewenangan lembaga
negara, apalagi memberikan kewenangan kepada lembaga negara yang berkaitan
dengan penyiaran;
Menimbang, bahwa
berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa KPI
sebagai Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga
permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard), dan oleh karenanya Pokok Permohonan tidak perlu dipertimbangkan
lebih lanjut;
Putusan
Mahkamah Konstitusi terhadap perkara sengketa kewenangan lembaga negara antara
KPI dengan Kominfo mengenai kewenangan mengadili perkara tersebut, bahwa
Mahkamah Konstitusi hanya berwenang memeriksa dan mengadili sengketa lembaga
Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 baik dari
pihak termohon maupun pihak pemohon. Hal ini
sesuai dengan Pasal 24 C ayat (1) yang menyatakan bahwa :
“Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum.”
Dalam
menentukan subjectum litis atau objectum litis perkara sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, Mahkamah
Konstitusi melakukan penafsiran gramatika (grammatische interpretatie),
yaitu sebagai penafsiran yang menyandarkan dari kata-kata yang dipakai
sehari-hari. Untuk menentukan subjectum litis atau objectum litis perkara
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945,
Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran gramatika (grammatische
interpretatie) (Eddyono, Jurnal Konstitusi, No.
3, Juni 2010:32-33).
Presiden c.q Menkominfo yang dalam hal ini sebagai termohon, merupakan lembaga
yang kewenangannya diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kekuasaan
pemerintahan negara oleh presiden diatur dan ditentukan dalam Bab III UUD 1945
yang memang diberi judul Kekuasaan Pemerintahan Negara. Bab III berisi 17 pasal
yang mengatur berbagai aspek mengenai presiden dan lembaga kepresidenan,
termasuk rincian kewenangan yang dimilikinya dalam memegang kekuasaan (Asshiddiqie,
2006:hlm.
69). Sedangkan Kementrian diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab V Kementrian Negara Pasal 17. Oleh
karena itu, Termohon merupakan subjectum litis, tetapi UUD 1945 tidak menyebut, apalagi memberikan
kewenangan konstitusional kepada KPI (Asshiddiqie, 2006:hlm. 28-29).
KPI
sebagai pemohon dalam perkara ini merupakan lembaga independen yang lahir
berdasarkan Undang-Undang yaitu Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002.
Dengan kata lain KPI bukan merupakan lembaga yang kewenangannya diberikan oleh
UUD 1945. Sehingga KPI tidak mempunyai legal
standing atau kedudukan hukum dalam pengajuan perkara ke Mahkamah
Konstitusi.
Berdasarkan
pertimbangan tersebut, permohonan pemeriksaan perkara yang diajukan KPI tidak
dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi karena tidak memenuhi Pasal 61 yaitu
bahwa “Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai
kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.”
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1 Bahwa KPI (Komisi Penyiaran Indonesia)
merupakan lembaga negara independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang dan
bukan dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.
3.1.2 Bahwa MK hanya memiliki kewenangan untuk
memutuskan perkara sengketa antar lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Dasar dan tidak memiliki kewenangan memutus perkara sengketa antar
lembaga Negara yang bukan dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar.
3.2 Saran
3.2.1
Diperlukan adanya kepastian mengenai siapakah yang berhak memutuskan perkara
sengketa antar lembaga Negara, baik yang sama-sama dibentuk oleh Undang-Undang
Dasar, atau Undang-Undang dengan Undang-Undang Dasar, atau Undang-Undang Dasar
dengan Peraturan lain yang lebih rendah dari Undang-Undang.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Asshidiqie, Jimly. 2010. Perkembangan
dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sinar Grafika.
Asshiddiqie, Jimly.
2006. Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara. Jakarta: Konstitusi Press.
KPI. Mozaik Kelembagaan
Negara.
JURNAL
Insani Istyadi. (2009). “Lembaga
Independen: Wacana dan realita dalam Penyelenggaraan Negara”, hlm 2.
Rahayu. (2003). “Memotret Resistensi Publik Terhadap
Penyelenggaraan Penyiaran Publik”. Jurnal
ISJD, Vol. 7, No. 2, hlm 33.
Widagdo,
Luthfi Eddyono. (2010). “Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah
Konstitusi”. Jurnal Konstitusi. Vol
7 (No 3), hlm 32-33.
UNDANG-UNDANG
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
Tentang Penyiaran
Label: celoteh'ku
open-my-mind
Rabu, 10 Oktober 2012
Because i miss u - jung hwa-
Selain kau tidak ada di sini, disana tidak ada yang berbeda sama sekali
Aku hanya ingin tersenyum, ingin melupakan segalanya
Seperti tidak terjadi apapun sama sekali, tersenyum untuk menjalani hari-hari ku
rindu kamu, rindu sekali padamu, karena aku sangat merindukan mu
setiap hari di dalam diriku, memanggil dan memanggil kamu
ingin melihatmu, ingin melihatmu, karena aku ingin sekali melihatmu
sekarang ini seperti kebiasaan ku, tetap memanggil nama mu
hal yang sama hari ini
Aku berfikir untuk membiarkan mu pegi, tidak meninggalkan apapun sebelumnya
Tidak, tidak, sekarang aku tetap tidak dapat membiarkanmu pergi
rindu kamu, rindu sekali padamu, karena aku sangat merindukan mu
setiap hari didalam diriku, memanggil dan memanggil kamu
ingin melihatmu, ingin melihatmu, karena aku ingin sekali melihatmu
sekarang ini seperti kebiasaan ku, tetap memanggil nama mu
hal yang sama hari ini
Setiap hari, setiap hari, ini terasa seperti akan membunuh ku, apa yang harus kulakukan?
Cinta kamu, cinta kamu, aku cinta kamu
Aku bahkan tidak berbicara apapun, aku hanya membiarkan mu pergi
Maaf, maaf, apa kau mendengar perkataanku
Pengakuan terakhirku, dapatkah kau mendengarnya?
Aku cinta kamu
Label: celoteh'ku
celoteh'ku
Langganan:
Postingan (Atom)