anneyong haseo..........

Label'ku

Minggu, 21 Oktober 2012

waktu yang menjawab

melihat hujan,
merasakan cipratan air,
melihat bayangmu,
dan merasakan kehadiranmu disini,
kembali ke belakang,
mengingat... mengenang dan berfikir,
dulu, saat pertama kenal,
saat pertama bertemu, dan saat pertama tau,
tak menyangka akan seperti ini jadinya,
dekat, dekat dan semakin dekat...
entah akan bisa seterusnya dekat atau akan bisa jauuh....
entah akan bisa bersama atau berpisah,
hanya ingin kepastian, yang entah kapan datang,
dan biarkan waktu yang menjawab...

lelah hanya sementara

Ketika tak ada tangan yang mau dan mampu untuk menggandeng,
ketika kaki tak kuat berjalan dan tak ada yang menopang,
maka cobalah untuk tetap melangkah,
tetaplah meneruskan langkah,
perlahan tapi pasti,
meskipun berat tapi percayalah, lelah itu hanya sementara..........

Minggu, 14 Oktober 2012

entah....

Setidaknya aku sudah diberi kesempatan untuk mengenalmu,
meskipun mungkin hanya sebentar..
entah apa yang akan terjadi nanti,
dan entah bagaimana kamu nanti,
bagaimana aku nanti,
bagaimana kita nanti,?
meskipun sulit, tapi pasti yang terbaik,
entah akan menyunggingkan senyuman,
atau akan meneteskan air mata,
entah akan melegakan perasaan,
atau akan menyesakkan dada,
yang bisa ku pahami sekarang adalah saat-saat bisa mengenalmu itu adalah saat-saat bahagia,
terimakasih :')

Sabtu, 13 Oktober 2012

ANALISA SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA SENGKETA KPI VS PRESIDEN cq KOMINFO



ANALISA SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA
SENGKETA KPI VS PRESIDEN cq  KOMINFO

 

Kelas
Disusun Oleh :
1. Ajeng Astrina Mulia         /E0010011
2. Alfian Yudha Prasetya     /E0010020
3. Andini Fitri Hapsari         /E0010032
4. Aryani Widhiastuti           /E0010055
5. Ginanjar Riskyta Y          /E0010155
6. Irma Sri Rejeki                  /E0010187
7. Veronica Woro AP           /E0010346
8. Yolanda Rahma A             /E0010362
9. Yupie Cahya B                  /E0010367
10.Yusnita Puspita D            /E0010368


BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Berbicara mengenai lembaga negara berarti berbicara mengenai alat kelengkapan yang ada dalam sebuah negara. Alat kelengkapan Negara berdasarkan teori klasik hukum negara meliputi, kekuasaan eksekutif, dalam hal ini bisa Presiden atau Perdana Menteri atau Raja; kekuasaan legislatif, dalam hal ini bisa disebut parlemen atau dengan nama lain seperti Dewan Perwakilan Rakyat; dan kekuasaan yudikatif seperti Mahkamah Agung atau supreme court. Kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif ini sama seperti Teori Trias Politika yang dicetuskan oleh Montesquee. Setiap alat kelengkapan negara tersebut bisa memiliki organ-organ lain untuk membantu melaksanakan fungsinya. 
Lembaga Negara atau lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan nondepartemen atau lembaga Negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh Undang-undang Dasar, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya berdasar Keputusan Presiden. Hierarki atau ranking kedudukannya tentu saja tergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lembaga Negara yang dibentuk Undang-Undang Dasar merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang merupakan organ Undang-Undang, sedangkan yang dibentuk karena Keputusan Presiden tentu lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat-pejabat yang duduk di dalamnya. Demikian pula jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya.
Keberadaan berbagai macam lembaga Negara yang bisa dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar, Undang-Undang atau oleh Peraturan yang lebih rendah. Lembaga Negara yang dibentuk karena Undang-Undang Dasar misalnya adalah Presiden, MPR, DPR, DPD, MK, MA, BPK, TNI, Polri, Bank Sentral, KPU (Komisi Penyelenggara Pemilu), dan Komisi Yudisial. Yang dibentuk karena Undang-Undang misalnya KPK, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan sebagainya.
Di samping lembaga-lembaga Negara yang telah disebutkan di atas, ada pula lembaga-lembaga Negara yang lainnya yang dibentuk berdasarkan Peraturan yang lebih rendah, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden. Beberapa di antaranya adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Komisi Banding Paten, Komisi Banding Merek, Komisi Nasional Anti Kekerasan Pada Perempuan, Dewan Pertanahan Naisonal, BP Migas dan BPH Migas, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dan sebagainya.
Keberadaan lembaga Negara yang beraneka ragam di Indonesia dalam pelaksanaanya tentu tidak semudah seperti yang kita bayangkan. Banyak hal yang mungkin dapat terjadi dalam hubungannya antar lembaga Negara, seperti sengketa misalnya.
Berdasarkan uaraian yang telah disebutkan di atas, maka dalam makalah ini akan mengupas lebih dalam mengenai analisis terhadap sengketa antar lembaga Negara yang ada di Indonesia.

1.2        Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah KPI termasuk Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945?
1.2.2 Bagaimana pertimbangan Hakim Konstitusi dalam putusan atas sengketa antara KPI dan Kominfo?

1.3        Tujuan Penulisan
1.3.1 Dapat mengetahui apakah KPI termasuk Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
1.3.2 Dapat mengetahui pertimbangan Hakim Konstitusi dalam putusan atas sengketa antara KPI dan Kominfo.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Kewenangan yang dimiliki KPI
Komisi Penyiaran Indonesia atau disingkat KPI pada tahun 2006 mengajukan permohonan perkara kepada Mahkamah Konstitusi dengan termohon Presiden RI cq Menteri Komunikasi dan Informasi RI yang diwakili oleh Dr. S. Sinansari Ecip; Sasa Djuarsa Sendjaja, Ph.D; Dr. H. Andrik Purwasito, D.E.A., dkk. atas pokok sengketa adanya surat dari Departemen Kominfo tanggal 17 Oktober 2006 perihal penyesuaian izin penyelenggaraan penyiaran bagi lembaga penyiaran swasta yang telah memiliki Izin Stasiun Radio dari Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi dan/atau Izin Siaran Nasional untuk Televisi dari Departemen Penerangan di Wilayah Propinsi DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Dalam hal ini KPI berpendapat bahwa Depkominfo telah melangkahi wewenangnya yaitu dalam pemberian dan perpanjangan izin penyiaran.
Setelah Menkominfo memberikan izin, barulah ia memberitahukannya kepada KPI. Dasar hukum surat dari Depkominfo tersebut adalah Peraturan Pemerintah, sedangkan pernyataan KPI berlandaskan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Sengketa antara Komisi Penyiaran Indonesia dan Presiden cq. Kominfo ini telah sempat diajukan ke Mahkamah Konstitusi, namun Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan bahwa permohonan tersebut tidak dapat diterima. Hal tersebut dikarenakan tidak dipenuhinya syarat-syarat formalitas dalam beracara di pengadilan, yaitu bahwa KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) bukan merupakan lembaga yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 melainkan oleh Undang-Undang, sehingga KPI tidak memenuhi syarat kedudukan hukum  (legal standing)  sebagaimana ditentukan Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi untuk mengajukan permohonan.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, Bab II, Pasal 7 disebutkan bahwa KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Demikian pula dengan lembaga-lembaga seperti KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), KPU (Komisi Pemilihan Umum), PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), dan sebagainya yang dibentuk berdasarkan ketentuan Undang-Undang. Pada umumnya lembaga-lembaga ini bersifat independen dan mempunyai fungsi campuran antara sifat legislatif, eksekutif, dan / atau sekaligus legislative (Asshiddiqie, 2010:21).
Menurut Indrayana (seperti dikutip dalam Insani, 2009:2) bahwa kemunculan lembaga independen di Indonesia, dalam literatur dikenal sebagai state auxiliary agencies karena sifatnya membantu/menunjang pelaksanaan kekuasaan negara tertentu baik di bidang eksekutif, legislatif (regulatif) dan yudikatif (peradilan). Dalam hal ini, KPI merupakan lembaga independen yang tidak bertanggungjawab terhadap siapapun dan sebagai lembaga pembantu pelaksanaan kekuasaan negara di bidang legislatif. KPI   merupakan representasi publik  karena  mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingannya dalam  mengatur penyelenggaraan penyiaran (Rahayu, Jurnal ISJD, Vol 7, No 2, November 2003:33). Pengaturan mengenai KPI terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang penyiaran, Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia.
 Tugas dan wewenang KPI dalam Pasal 8 ayat (2) UUP diantaranya:
a.       menetapkan standar program siaran;
b.      menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran; 
c.       mengawasi pelaksanaan peraturan dan  pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran;
d.      memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran;
e.       melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat.
Melihat dasar hukum yang digunakan sebagai pembelaan dari masing-masing pihak, yaitu KPI berlandaskan:
-    Pasal 1 ayat (14) UU Penyiaran mengatur :
Izin Penyelenggaraan Penyiaran adalah hak yang diberikan oleh negara kepada lembaga penyiaran untuk menyelenggarakan penyiaran.
-    Pasal 33 ayat (4) dan (5) UU Penyiaran mengatur:
Ayat (4): Izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara setelah memperoleh: (a) masukan dan hasil evaluasi dengar pendapat antara pemohon dan KPI; (b) rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI; (c) hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus untuk perizinan antara KPI dan Pemerintah; dan (d) izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh Pemerintah atas usul KPI.
Ayat (5) : Atas dasar hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf c, secara administratif izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh Negara melalui KPI.
Prosedur pengaturan struktur sistem penyiaran yang menurut UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran seharusnya dikelola masyarakat melalui KPI ternyata dipotong begitu saja oleh PP No. 49, 50, 51, dan 52 (paket Peraturan Pemerintah (PP) tentang penyiaran yang terbit tahun 2005) (KPI,107).
Dari pihak Menkominfo berlandaskan pada Peraturan Pemerintah. Menanggapi hal tersebut, kami berpendapat bahwa yang dimaksudkan dalam salah satu PP tersebut yaitu PP Nomor 50 Tahun 2005 pada Pasal 4 ayat (2) yaitu “untuk   memperoleh  izin  penyelenggaraan  penyiaran  Lembaga  Penyiaran Swasta,  Pemohon mengajukan  permohonan  izin  tertulis  kepada Menteri melalui  KPI,  dengan  mengisi  formulir  yang  disediakan  dan  memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini”; Pasal 5 ayat (9), “Forum  Rapat  Bersama  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (7) diselenggarakan  dalam  rangka  pemberian  persetujuan  atau  penolakan  izin  penyelenggaraan  penyiaran  melalui  penilaian  bersama  terhadap rekomendasi  kelayakan  penyelenggaraan  penyiaran  dan  usulan  alokasi dan  penggunaan  spektrum  frekuensi  radio  dari  KPI  serta  terpenuhinya persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)”, ayat (10) “Menteri  menerbitkan  keputusan  persetujuan  atau  penolakan  izin penyelenggaraan penyiaran  sesuai dengan hasil kesepakatan dari Forum Rapat Bersama”.
Isi dari beberapa pasal dalam Peraturan Pemerintah tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Penyiaran, dimana dalam Undang-Undang Penyiaran, KPI berwenang secara penuh dalam pemberian izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran, berbeda dengan apa yang disebutkan dalam PP yaitu bahwa KPI harus bermusyawarah bersama Menteri dalam pemberian persetujuan atau penolakan izin penyelenggaraan penyiaran, dan menteri yang berwenang menerbitkan keputusan persetujuan.
Bahwa seharusnya suatu Peraturan Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, hal ini sebagaimana dalam hierarki peraturan perundang-undangan yaitu bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Bab III, Pasal 7 ayat (1):
1.   UUD 1945;
2.   Ketetapan MPR;
4.   Peraturan Pemerintah (PP);
5.   Peraturan Presiden (Perpres);
6.   Peraturan Daerah Provinsi;
7.   Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.
Sehingga ketentuan yang berlaku merupakan ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Penyiaran. Dalam hal ini berlaku asas Lex superiori derogat lege priori, peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah.
Melihat perselisihan di atas, maka perlu adanya penyelarasan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundangan yang akan dibuat harus sesuai dengan peraturan yang telah di buat, sehingga harus banyak melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang ada.

2.2    Pertimbangan Hakim Konstitusi dalam putusan atas sengketa antara KPI dan Kominfo
Perlu diperhatikan mengenai perlu atau tidaknya pertimbangan – pertimbangan Hakim Konstitusi dalam putusan atas sengketa antara KPI dan Kominfo guna memperoleh kejelasan terhadap siapa yang lebih memiliki kewenangan atas sengketa yang terjadi.
Berikut ini adalah amar Putusan dalam Putusan atas Sengketa antara KPI dan Kominfo mengenai kewenangan yang dimiliki kedua lembaga Negara tersebut adalah :

Menimbang, bahwa dalam pelaksanaan kewenangan Mahkamah untuk mengadili dan memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya, sejak Putusan Mahkamah Nomor 004/SKLN-IV/2006;
Menimbang, bahwa dalam pelaksanaan kewenangan Mahkamah untuk mengadili dan memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya, sejak Putusan Mahkamah Nomor 004/SKLN-IV/2006;
Dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah tersebut antara lain : “Mahkamah dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu permohonan sengketa kewenangan lembaga negara harus mempertimbangkan adanya hubungan yang erat antara kewenangan dan lembaga yang melaksanakan kewenangan tersebut. Sehingga, dalam menetapkan apakah Mahkamah berwenang untuk memeriksa permohonan sengketa kewenangan lembaga negara, Mahkamah harus mengaitkan secara langsung pokok yang disengketakan (objectum litis) dengan kedudukan lembaga negara yang mengajukan permohonan, yaitu apakah kepada lembaga negara tersebut kewenangan itu diberikan, sehingga dengan demikian masalah kewenangan dimaksud terkait erat dengan legal standing Pemohon yang akan menentukan berwenang atau tidaknya Mahkamah dalam memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ..... Penempatan kata ‘sengketa kewenangan’ sebelum kata ‘lembaga negara’ mempunyai arti yang sangat penting, karena hakikatnya yang dimaksud oleh Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 adalah memang ‘sengketa kewenangan’ atau tentang ‘apa yang disengketakan’ dan bukan tentang ‘siapa yang bersengketa’. Pengertiannya akan menjadi lain apabila perumusan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 itu berbunyi :
‘... sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar’. Dalam rumusan yang disebut terakhir, hal yang merupakan pokok persoalan adalah pihak yang bersengketa, yaitu lembaga negara, dan tidak menjadi penting tentang objek sengketanya. Sehingga apabila demikian rumusannya, maka konsekuensinya Mahkamah Konstitusi akan menjadi forum penyelesai sengketa lembaga negara tanpa mempertimbangkan materi yang dipersengketakan oleh lembaga negara, dan hal demikian menurut Mahkamah bukanlah maksud dari Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Karena, apabila dirumuskan “... sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”, Mahkamah Konstitusi akan berwenang untuk memutus sengketa apa pun yang tidak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan persoalan konstitusionalitas kewenangan lembaga negara, sepanjang yang bersengketa adalah lembaga negara .....
Menimbang, bahwa kata ‘lembaga negara’ terdapat dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, sehingga Mahkamah harus menetapkan lembaga negara mana yang dimaksud oleh Pasal 24C Ayat (1) tersebut. Dalam menetapkan siapa yang dimaksud dengan lembaga negara oleh Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah berlandaskan pada uraian di atas bahwa kewenangan Mahkamah adalah untuk memutus sengketa kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, sehingga untuk menentukan apakah sebuah lembaga sebagai lembaga negara sebagaimana dimaksud Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, maka yang pertama-tama harus diperhatikan adalah adanya kewenangan tertentu dalam Undang-Undang Dasar dan baru kemudian kepada lembaga apa kewenangan-kewenangan tersebut diberikan. Karena kewenangan sifatnya terbatas dan untuk sesuatu hal yang tertentu, maka sifat kelembagaan negara tidaklah dapat ditentukan secara umum, tetapi terkait dengan kewenangan yang diberikan atau dengan kata lain sebuah lembaga yang disebut dengan nama apapun berkedudukan sebagai lembaga negara menurut pengertian Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 apabila lembaga tersebut mempermasalahkan atau dipermasalahkan kewenangannya yang diberikan oleh UUD 1945 .....
Menimbang, bahwa rumusan ‘sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar’ mempunyai maksud bahwa hanya kewenangan yang diberikan oleh UUD saja yang menjadi objectum litis dari sengketa dan Mahkamah mempunyai wewenang untuk memutus sengketa yang demikian. Ketentuan yang menjadi dasar kewenangan Mahkamah tersebut sekaligus membatasi kewenangan Mahkamah, yang artinya apabila ada sengketa kewenangan yang tidak mempunyai objectum litis ‘kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar’, maka Mahkamah tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus. Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian itulah yang dimaksud oleh UUD 1945. Sengketa kewenangan yang kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang tidaklah menjadi kewenangan Mahkamah.
Menimbang, bahwa dilihat dari subjectum litis dalam permohonan ini, Pemohon adalah KPI dan Termohon adalah Presiden cq. Menteri Komunikasi dan Informatika. Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 4 Ayat (1), Pasal (5), dan Pasal (7) UUD 1945, Presiden cq. Menteri Komunikasi dan Informatika adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Oleh karena itu, Termohon merupakan subjectum litis dalam perkara a quo. Sementara itu, UUD 1945 tidak menyebut, apalagi memberikan kewenangan konstitusional kepada KPI. Dengan demikian, keberadaan KPI bukanlah merupakan lembaga negara sebagaimana dimaksud Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 61 Ayat (1) UU MK; Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan, kewenangan konstitusional Pemohon mengalir secara derivative dari Pasal 28F UUD 1945, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Bahwa Pasal 28F UUD 1945, berbunyi, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”;
Pasal 28F UUD 1945 tersebut, mengatur tentang hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, dan bukan mengatur hak dan/atau kewenangan lembaga negara, apalagi memberikan kewenangan kepada lembaga negara yang berkaitan dengan penyiaran;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa KPI sebagai Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard), dan oleh karenanya Pokok Permohonan tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut;
Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara sengketa kewenangan lembaga negara antara KPI dengan Kominfo mengenai kewenangan mengadili perkara tersebut, bahwa Mahkamah Konstitusi hanya berwenang memeriksa dan mengadili sengketa lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 baik dari pihak termohon maupun pihak pemohon. Hal ini  sesuai dengan Pasal 24 C ayat (1) yang menyatakan bahwa :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

Dalam menentukan subjectum litis atau objectum litis perkara sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran gramatika (grammatische interpretatie), yaitu sebagai penafsiran yang menyandarkan dari kata-kata yang dipakai sehari-hari. Untuk menentukan subjectum litis atau objectum litis perkara sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran gramatika (grammatische interpretatie) (Eddyono, Jurnal Konstitusi, No. 3, Juni 2010:32-33). Presiden c.q Menkominfo yang dalam hal ini sebagai termohon, merupakan lembaga yang kewenangannya diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kekuasaan pemerintahan negara oleh presiden diatur dan ditentukan dalam Bab III UUD 1945 yang memang diberi judul Kekuasaan Pemerintahan Negara. Bab III berisi 17 pasal yang mengatur berbagai aspek mengenai presiden dan lembaga kepresidenan, termasuk rincian kewenangan yang dimilikinya dalam memegang kekuasaan (Asshiddiqie, 2006:hlm. 69). Sedangkan Kementrian diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab V Kementrian Negara Pasal 17. Oleh karena itu, Termohon merupakan subjectum litis, tetapi UUD 1945 tidak menyebut, apalagi memberikan kewenangan konstitusional kepada KPI (Asshiddiqie, 2006:hlm. 28-29).
KPI sebagai pemohon dalam perkara ini merupakan lembaga independen yang lahir berdasarkan Undang-Undang yaitu Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002. Dengan kata lain KPI bukan merupakan lembaga yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Sehingga KPI tidak mempunyai legal standing atau kedudukan hukum dalam pengajuan perkara ke Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, permohonan pemeriksaan perkara yang diajukan KPI tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi karena tidak memenuhi Pasal 61 yaitu bahwa “Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.”


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.1.1    Bahwa KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) merupakan lembaga negara independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang dan bukan dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.
3.1.2    Bahwa MK hanya memiliki kewenangan untuk memutuskan perkara sengketa antar lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar dan tidak memiliki kewenangan memutus perkara sengketa antar lembaga Negara yang bukan dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar.

3.2 Saran
3.2.1 Diperlukan adanya kepastian mengenai siapakah yang berhak memutuskan perkara sengketa antar lembaga Negara, baik yang sama-sama dibentuk oleh Undang-Undang Dasar, atau Undang-Undang dengan Undang-Undang Dasar, atau Undang-Undang Dasar dengan Peraturan lain yang lebih rendah dari Undang-Undang.













DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Asshidiqie, Jimly. 2010. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sinar Grafika.
Asshiddiqie, Jimly. 2006. Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara. Jakarta: Konstitusi Press.
KPI. Mozaik Kelembagaan Negara.


JURNAL
Insani Istyadi. (2009). “Lembaga Independen: Wacana dan realita dalam Penyelenggaraan Negara”, hlm 2.
Rahayu. (2003). “Memotret Resistensi Publik Terhadap Penyelenggaraan Penyiaran Publik”. Jurnal ISJD, Vol. 7, No. 2, hlm 33.
Widagdo, Luthfi Eddyono. (2010).Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi”. Jurnal Konstitusi. Vol 7 (No 3), hlm 32-33.

UNDANG-UNDANG
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran

Rabu, 10 Oktober 2012

Because i miss u - jung hwa-

Selalu dibawah langit yang persis sama, selalu  hari yang persis sama
Selain kau tidak ada di sini, disana tidak ada yang berbeda sama sekali

Aku hanya ingin tersenyum, ingin melupakan segalanya
Seperti tidak terjadi apapun sama sekali, tersenyum untuk menjalani hari-hari ku
rindu kamu, rindu sekali padamu, karena aku sangat merindukan mu
setiap hari di dalam diriku, memanggil dan memanggil kamu
ingin melihatmu, ingin melihatmu, karena aku ingin sekali melihatmu
sekarang ini seperti kebiasaan ku, tetap memanggil nama mu
hal yang sama hari ini

Aku berfikir untuk membiarkan mu pegi, tidak meninggalkan apapun sebelumnya
Tidak, tidak, sekarang aku tetap tidak dapat membiarkanmu  pergi
rindu kamu, rindu sekali padamu, karena aku sangat merindukan mu
setiap hari didalam diriku, memanggil dan memanggil kamu
ingin melihatmu, ingin melihatmu, karena aku ingin sekali melihatmu
sekarang ini seperti kebiasaan ku, tetap memanggil nama mu
hal yang sama hari ini

Setiap hari, setiap hari, ini terasa seperti akan membunuh ku, apa yang harus kulakukan?
Cinta kamu, cinta kamu, aku cinta kamu
Aku bahkan tidak berbicara apapun, aku hanya membiarkan mu pergi
Maaf, maaf, apa kau mendengar perkataanku
Pengakuan terakhirku, dapatkah kau mendengarnya?
Aku cinta kamu