KONTRAK
SOSIAL
DISUSUN
OLEH :
ARYANI WIDHIASTUTI
E0010055
KELAS E
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2010
KONTRAK
SOSIAL
Rasionalisme abad 17 yang mendasari teori
terjadinya negara dan hukum atas dasar kontrak dan persetujuan rakyat. Teori
kontrak sosial berkembang dan dipengaruhi oleh pemikiran Jaman Pencerahan
(Enlightenment) yang ditandai dengan rasionalisme, realisme, dan humanisme,
yang menempatkan manusia sebagai pusat gerak dunia. Pemikiran bahwa manusia
adalah sumber kewenangan secara jelas menunjukkan kepercayaan terhadap manusia
untuk mengelola dan mengatasi kehidupan politik dan bernegara. Dalam perspektif
kesejarahan, Jaman Pencerahan ini adalah koreksi atau reaksi atas jaman
sebelumnya, yaitu Jaman Pertengahan. Walau pun begitu, pemikiran-pemikiran yang
muncul di Jaman Pencerahan tidaklah semuanya baru. Seperti telah disinggung di
atas, teori kontrak sosial yang berkembang pada Jaman Pencerahan ternyata
secara samar-samar telah diisyaratkan oleh pemikir-pemikir jaman-jaman
sebelumnya seperti Kongfucu dan Aquinas. Yang jelas adalah bahwa pada Jaman
Pencerahan ini unsur-unsur pemikiran liberal kemanusiaan dijadikan dasar utama
alur pemikiran.
Teori kontrak sosial menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena
anggota masyarakat mengadakan kontrak sosial untuk membentuk negara. Dalam
teori ini, sumber kewenangan adalah masyarakat itu sendiri.
Teori ini yang dikemukakan antara lain oleh Thomas Hobbes (1588-1679),
John Locke (1632-1704), Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), dan dengan simpulan
yang berbeda-beda. Locke, dan kemudian juga Rousseau, disebut-sebut sebagai
peletak dasar konsep demokrasi. Menurut kedua pemikir teori kontrak sosial ini,
yang disebut ‘rakyat’ itu tak lain daripada sekumpulan individu-individu yang
kesepakatan kontraktualnya tak begitu saja dimaknakan sebagai kesediaan untuk
berserah diri dan melepaskan kebebasan individualnya secara total kepada sang
penguasa. Penguasa adalah pejabat yang mengemban mandat rakyat untuk menjaga
dan menjamin hak-hak rakyat yang asasi, yang manakala disalahgunakan akan
memberikan hak kepada rakyat untuk mencabut mandat itu.
Hobbes, Locke dan Rousseau sama-sama berangkat dan membahas tentang,
kontrak sosial dalam analisis-analisis politik mereka. Mereka sama-sama
mendasarkan analisis-analisis mereka pada anggapan dasar bahwa manusialah
sumber kewenangan. Akan tetapi tentang bagaimana, siapa mengambil kewenangan
itu dari sumbernya, dan pengoperasian kewenangan selanjutnya, mereka berbeda
satu dari yang lain. Perbedaan-perbedaan itu mendasar satu dengan yang lain,
baik di dalam konsep maupun (apalagi!) di dalam praksisnya.
Salah satu faktor penyebab perbedaan itu adalah latarbelakang pribadi dan kepentingan masing-masing. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Hobbes (1588-1679) hidup pada kondisi negaranya sedang kacau balau karena Perang Saudara; bahwa Hobbes menginginkan negaranya stabil dan Hobbes mempunyai ikatan karier dan politik dengan kalangan kerajaan, sehingga dalam persaingan kerajaan versus parlemen Hobbes memihak kerajaan dan antiparlemen yang dianggap sumber utama perang saudara.
Locke hidup (1632-1704) setengah abad lebih muda daripada Hobbes. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Locke merasa hidup di tengah-tengah kekuasaan kerajaan despotik; bahwa Locke mendapat pengaruh dari semangat liberalisme yang sedang bergelora di Eropa pada waktu itu; dan bahwa Locke mempunyai ikatan karier dan politik dengan kalangan parlemen yang sedang bersaing dengan kerajaan, sehingga Locke cenderung memihak parelemen dan menentang kekuasaan raja.
Salah satu faktor penyebab perbedaan itu adalah latarbelakang pribadi dan kepentingan masing-masing. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Hobbes (1588-1679) hidup pada kondisi negaranya sedang kacau balau karena Perang Saudara; bahwa Hobbes menginginkan negaranya stabil dan Hobbes mempunyai ikatan karier dan politik dengan kalangan kerajaan, sehingga dalam persaingan kerajaan versus parlemen Hobbes memihak kerajaan dan antiparlemen yang dianggap sumber utama perang saudara.
Locke hidup (1632-1704) setengah abad lebih muda daripada Hobbes. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Locke merasa hidup di tengah-tengah kekuasaan kerajaan despotik; bahwa Locke mendapat pengaruh dari semangat liberalisme yang sedang bergelora di Eropa pada waktu itu; dan bahwa Locke mempunyai ikatan karier dan politik dengan kalangan parlemen yang sedang bersaing dengan kerajaan, sehingga Locke cenderung memihak parelemen dan menentang kekuasaan raja.
Sedangkan Rousseau (1712-1778) hidup dalam abad berbeda dan negara
berbeda pula. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Rousseau berasal dari
kalangan biasa yang merasakan kesewenang-wenangan kerajaan; dan bahwa Rousseau
mengilhami dan terlibat dalam Revolusi Perancis. Dalam membangun teori kontrak
sosial, hobbes, Locke dan Rousseau memulai dengan konsep kodrat manusia,
kemudian konsep-konsep kondisi alamiah, hak alamiah dan hukum alamiah.
« THOMAS HOBBES
Thomas Hobbes
(5 April 1588 - 4 Desember 1679), Hobbes
menyatakan bahwa secara kodrati manusia itu sama satu dengan lainnya.
Masing-masing mempunyai hasrat atau nafsu (appetite) dan keengganan
(aversions), yang menggerakkan tindakan mereka. Appetites manusia adalah hasrat
atau nafsu akan kekuasaan, akan kekayaan, akan pengetahuan, dan akan
kehormatan. Sedangkan aversions manusia adalah keengganan untuk hidup sengsara
dan mati. Hobbes menegaskan pula bahwa hasrat manusia itu tidaklah terbatas.
Untuk memenuhi hasrat atau nafsu yang tidak terbatas itu, manusia mempunyai
power. Oleh karena setiap manusia berusaha untuk memenuhi hasrat dan
keengganannya, dengan menggunakan power-nya masing-masing, maka yang terjadi
adalah benturan power antarsesama manusia, yang meningkatkan keengganan untuk
mati. Mengenai semua hal di atas, Hobbes menulis sebagai berikut:
“So
that in the first place, I put for a generall inclination of all mankind, a
perpetuall and restlesse desire of Power after power, that ceaseth in Death.
And the cause of this, is not intensive delight, than he has already attained
to; or that he cannot with a moderate power: but because he cannot assure the
power and means to live well, which he hath present, without the acquisition of
more.” [Thomas Hobbes, Leviathan, Harmandsworth, Middlesex: Penguin Books Ltd.,
1651, cetak ulang tahun 1983, h. 161.]
Dengan demikian Hobbes menyatakan bahwa dalam kondisi alamiah, terdapat perjuangan untuk power dari manusia atas manusia yang lain. Dalam kondisi alamiah seperti itu manusia menjadi tidak aman dan ancaman kematian menjadi semakin mencekam.
Karena kondisi alamiah tidak aman, maka dengan akalnya manusia berusaha menghindari kondisi perang-satu-dengan-lainnya itu dengan menciptakan kondisi artifisial (buatan). Dengan penciptaan ini manusia tidak lagi dalam kondisi alamiah, tetapi sudah memasuki kondisi sipil. Hobbes lantas memberi solusi berupa kontrak sosial dan manusia, yang selalu dihantui ketakutan, akan terdorong untuk melakukan perjanjian dengan memilih penguasa di antara mereka. Pihak-pihak yang berjanji menyerahkan kekuatan dan kekuasaannya kepada sang penguasa. Namun, menjadi masalah ketika sang penguasa tidak mengikatkan diri pada perjanjian, hal ini menyebabkan sang penguasa memiliki kekuatan dan kekuasaan yang absolut. Walaupun sang penguasa memiliki kekuasan absolut, menurut Hobbes seseorang dapat menentang jika sudah menyakiti secara jasmaniah.Teori Kontrak Sosial-nya menganut aliran pactum subyectionis.
« JOHN LOCKE
John
Locke ( 29 Agustus 1632 - 28 Oktober 1704), secara
luas dikenal sebagai Bapa Liberalisme ,
adalah seorang Inggris filsuf
dan dokter
dianggap sebagai salah satu yang paling berpengaruh Pencerahan
pemikir . Dianggap sebagai
salah satu yang pertama dari Inggris empirisis
, mengikuti tradisi Francis Bacon ,
ia adalah sama pentingnya dengan teori kontrak sosial. Karyanya memiliki dampak
yang besar terhadap perkembangan epistemologi
dan filsafat politik .
Teori pikiran Locke sering disebut
sebagai asal dari konsep modern yang identitas dan
diri. Locke memulai
dengan menyatakan kodrat manusia adalah sama antara satu dengan lainnya. Berbeda
dari Hobbes, Locke menyatakan bahwa ciri-ciri manusia tidaklah ingin memenuhi
hasrat dengan power tanpa mengindahkan manusia lainnya. Menurut Locke, manusia
di dalam dirinya mempunyai akal yang mengajar prinsip bahwa karena menjadi sama
dan independen manusia tidak perlu melanggar dan merusak kehidupan manusia
lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut Locke sangat berbeda dari
kondisi alamiah menurut Hobbes. Menurut Locke, dalam kondisi alamiah sudah
terdapat pola-pola pengaturan dan hukum alamiah yang teratur karena manusia
mempunyai akal yang dapat menentukan apa yang benar apa yang salah dalam
pergaulan antara sesama.
Masalah ketidaktentraman
dan ketidakamanan kemudian muncul, menurut Locke, karena beberapa hal. Pertama,
apabila semua orang dipandu oleh akal murninya, maka tidak akan terjadi
masalah. Akan tetapi, yang terjadi, beberapa orang dipandu oleh akal yang telah
dibiarkan (terbias) oleh dorongan-dorongan kepentingan pribadi, sehingga
pola-pola pengaturan dan hukum alamiah menjadi kacau. Kedua, pihak yang
dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada pelanggar aturan dan hukum
yang ada, karena pihak yang dirugikan itu tidak mempunyai kekuatan cukup untuk
memaksakan sanksi.
Oleh karena kondisi alamiah, karena ulah beberapa orang yang biasanya punya power, tidaklah menjamin keamanan penuh, maka seperti halnya Hobbes, Locke juga menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman penuh menuju kondisi aman secara penuh. Manusia menciptakan kondisi artifisial (buatan) dengan cara mengadakan kontrak sosial. Masing-masing anggota masyarakat tidak menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya, akan tetapi hanya sebagian saja. Antara pihak (calon) pemegang pemerintahan dan masyarakat tidak hanya hubungan kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling kepercayaan (fiduciary trust). [John Locke, “An Essay Concerning the True Original, Extent and End of Civil Government,” dalam Social Contract, London: Oxford University Press, 1960, h. 84.]. Locke menyusun badan legislatif yang membuat hukum, badan eksekutif yang melaksanakan, dan kekuasaan federatif yang menyangkut dalam pembuatan perjanjian dan persekutuan. Sempat menyinggung tentang pentingnya pengadilan, namun Locke melupakan badan yudikatif.
Oleh karena kondisi alamiah, karena ulah beberapa orang yang biasanya punya power, tidaklah menjamin keamanan penuh, maka seperti halnya Hobbes, Locke juga menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman penuh menuju kondisi aman secara penuh. Manusia menciptakan kondisi artifisial (buatan) dengan cara mengadakan kontrak sosial. Masing-masing anggota masyarakat tidak menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya, akan tetapi hanya sebagian saja. Antara pihak (calon) pemegang pemerintahan dan masyarakat tidak hanya hubungan kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling kepercayaan (fiduciary trust). [John Locke, “An Essay Concerning the True Original, Extent and End of Civil Government,” dalam Social Contract, London: Oxford University Press, 1960, h. 84.]. Locke menyusun badan legislatif yang membuat hukum, badan eksekutif yang melaksanakan, dan kekuasaan federatif yang menyangkut dalam pembuatan perjanjian dan persekutuan. Sempat menyinggung tentang pentingnya pengadilan, namun Locke melupakan badan yudikatif.
Locke menegaskan bahwa ada tiga pihak dalam hubungan saling percaya itu, yaitu yang menciptakan kepercayaan itu (the trustor), yang diberi kepercayaan (the trustee), dan yang menarik manfaat dari pemberian kepercayaan itu (the beneficiary). Antara trustor dan trustee terjadi kontrak yang menyebutkan bahwa trustee harus patuh pada beneficiary, sedangkan antara trustee dan beneficiary tidak terjadi kontrak samasekali. Trustee hanya menerima obligasi dari beneficiary secara sepihak.
Dari pemahaman
tentang hubungan saling percaya dan kontraktual itu tampak bahwa pemegang
pemerintahan atau yang diberi kepercayaan mempunyai hak-hak dan kewenangan yang
sangat terbatas, karena menurut Locke masyarakatlah yang dapat bertindak
sebagai trustor sekaligus beneficiary.
Dari uraian Locke, tampak nyata bahwa sumber kewenangan dan pemegang kewenangan dalam teori Locke tetaplah masyarakat. Oleh karena itu kewajiban dan kepatuhan politik masyarakat kepada pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah masih dipercaya. Apabila hubungan kepercayaan (fiduciary trust) putus, pemerintah tidak mempunyai dasar untuk memaksakan kewenangannya, karena hubungan kepercayaan maupun kontraktual sifatnya adalah sepihak. Kesimpulan demikian ini tentu amat bertolak belakang dari kesimpulan yang dihasilkan oleh Hobbes.
Kelemahan pemikiran Locke adalah berkurangnya peran pemerintah, mengingat eksekutif tergantung legislatif. Selain itu, penyuburan dinasti ekonomi menyebabkan si miskin tanpa milik tidak memiliki suara. Locke juga jauh mementingkan masalah mayoritas daripada minoritas.
Walaupun banyak kelemahan, pemikirannya sangat
berpengaruh di negara-negara Barat, teorinya tentang pemisahan kekuasaan
(separation of powers) dikembangkan oleh Montesquieu. Pemikiran Locke tentang
Kontrak Sosial untuk selanjutnya diikuti oleh Rousseau, tentunya dengan
perbedaan, seperti perbedaan mendasar Kontrak Sosial versi Locke dan Hobbes.
Teori Kontrak Sosial-nya menganut aliran pactum unionis dan pactum
subyectionis.
« ROSSEAU
(28 Juni 1712 - 2 Juli 1778).
Seperti halnya Hobbes dan Locke,
Rousseau memulai analisisnya dengan kodrat manusia. Pada dasarnya manusia itu
sama. Pada kondisi alamiah antara manusia yang satu dengan manusia yang lain
tidaklah terjadi perkelahian. Justru pada kondisi alamiah ini manusia saling
bersatu dan bekerjasama. Kenyataan itu disebabkan oleh situasi manusia yang
lemah dalam menghadapi alam yang buas. Masing-masing menjaga diri dan berusaha
menghadapi tantangan alam. Untuk itu mereka perlu saling menolong, maka
terbentuklah organisasi sosial yang memungkinkan manusia bisa mengimbangi alam.
Walaupun pada prinsipnya manusia itu sama, tetapi alam, fisik dan moral menciptakan ketidaksamaan. Muncul hak-hak istimewa yang dimiliki oleh beberapa orang tertentu karena mereka ini lebih kaya, lebih dihormati, lebih berkuasa, dan sebagainya. Organisasi sosial dipakai oleh yang punya hak-hak istimewa tersebut untuk menambah power dan menekan yang lain. Pada gilirannya, kecenderungan itu menjurus ke kekuasaan tunggal.
Untuk menghindar dari kondisi yang punya hak-hak istimewa menekan orang lain yang menyebabkan ketidaktoleranan (intolerable) dan tidak stabil, maka masyarakat mengadakan kontrak sosial, yang dibentuk oleh kehendak bebas dari semua (the free will of all), untuk memantapkan keadilan dan pemenuhan moralitas tertinggi. Akan tetapi kemudian Rousseau mengedepankan konsep tentang kehendak umum (volonte generale) untuk dibedakan dari hanya kehendak semua (omnes ut singuli). Kehendak bebas dari semua tidak harus tercipta oleh jumlah orang yang berkehendak (the quantity of the ‘subjects’), akan tetapi harus tercipta oleh kualitas kehendaknya (the quality of the ‘object’ sought). [Jean Jacques Rousseau, “The Social Contract,” dalam Social Contract, London: Oxford University Press, 1960, h. 193-194.]
Kehendak umum (volonte generale) menciptakan negara yang memungkinkan manusia menikmati kebebasan yang lebih baik daripada kebebasan yang mungkin didapat dalam kondisi alamiah. Kehendak umum menentukan yang terbaik bagi masyarakat, sehingga apabila ada orang yang tidak setuju dengan kehendak umum itu maka perlulah ia dipaksa untuk tunduk pada kehendak umum itu.
Rousseau mengajukan argumentasi yang sulit dimengerti ketika sampai pada pengoperasian kewenangan dari kehendak umum ke pemerintah. Pada dasarnya Rousseau menjelaskan bahwa yang memerintah adalah kehendak umum dengan menggunakan lembaga legislatif, yang membawahi lembaga eksekutif. Walau demikian Rousseau sebenarnya menekankan pentingnya demokrasi primer (langsung), tanpa perwakilan, dan tanpa perantaraan partai-partai politik. Dengan demikian masyarakat, lewat kehendak umum, bisa secara total memerintah negara. [Rousseau: 231-2.]
Jadi jelas, walaupun sulit dipahami, argumentasi pengoperasian kewenangannya, Rousseau mengembangkan semangat totaliter pihak rakyat dalam kekuasaan.
Walaupun pada prinsipnya manusia itu sama, tetapi alam, fisik dan moral menciptakan ketidaksamaan. Muncul hak-hak istimewa yang dimiliki oleh beberapa orang tertentu karena mereka ini lebih kaya, lebih dihormati, lebih berkuasa, dan sebagainya. Organisasi sosial dipakai oleh yang punya hak-hak istimewa tersebut untuk menambah power dan menekan yang lain. Pada gilirannya, kecenderungan itu menjurus ke kekuasaan tunggal.
Untuk menghindar dari kondisi yang punya hak-hak istimewa menekan orang lain yang menyebabkan ketidaktoleranan (intolerable) dan tidak stabil, maka masyarakat mengadakan kontrak sosial, yang dibentuk oleh kehendak bebas dari semua (the free will of all), untuk memantapkan keadilan dan pemenuhan moralitas tertinggi. Akan tetapi kemudian Rousseau mengedepankan konsep tentang kehendak umum (volonte generale) untuk dibedakan dari hanya kehendak semua (omnes ut singuli). Kehendak bebas dari semua tidak harus tercipta oleh jumlah orang yang berkehendak (the quantity of the ‘subjects’), akan tetapi harus tercipta oleh kualitas kehendaknya (the quality of the ‘object’ sought). [Jean Jacques Rousseau, “The Social Contract,” dalam Social Contract, London: Oxford University Press, 1960, h. 193-194.]
Kehendak umum (volonte generale) menciptakan negara yang memungkinkan manusia menikmati kebebasan yang lebih baik daripada kebebasan yang mungkin didapat dalam kondisi alamiah. Kehendak umum menentukan yang terbaik bagi masyarakat, sehingga apabila ada orang yang tidak setuju dengan kehendak umum itu maka perlulah ia dipaksa untuk tunduk pada kehendak umum itu.
Rousseau mengajukan argumentasi yang sulit dimengerti ketika sampai pada pengoperasian kewenangan dari kehendak umum ke pemerintah. Pada dasarnya Rousseau menjelaskan bahwa yang memerintah adalah kehendak umum dengan menggunakan lembaga legislatif, yang membawahi lembaga eksekutif. Walau demikian Rousseau sebenarnya menekankan pentingnya demokrasi primer (langsung), tanpa perwakilan, dan tanpa perantaraan partai-partai politik. Dengan demikian masyarakat, lewat kehendak umum, bisa secara total memerintah negara. [Rousseau: 231-2.]
Jadi jelas, walaupun sulit dipahami, argumentasi pengoperasian kewenangannya, Rousseau mengembangkan semangat totaliter pihak rakyat dalam kekuasaan.
Kebaikan Teori Rousseau antara lain sebagai landasan demokrasi modern
dan menonjolkan fungsi warga negara dalam masyarakat dan negara. Selain itu,
Rousseau mengubah sistem politik penuh kekerasan menjadi musyawarah. Teori dan
perjanjian ini juga akan menunjukkan tanggung jawab pemerintah terhadap
rakyatnya. Teori Kontrak Sosial-nya menganut aliran pactum unionis, yaitu
perjanjian masyarakat yang sebenarnya. Ia menghendaki bentuk negara di mana
kekuasaanya di tangan rakyat, atau Demokrasi Mutlak.
Kelemahannya teori ini antara lain tidak berdasar historis dan setiap orang mau tidak mau terikat kontrak sosial, bukan sukarela. Namun, Rousseau seakan tidak konsekuen, dikarenakan ia mementingkan pungutan suara, padahal bersumber dari kwantitas. Selain itu, Rousseau tidak menjelaskan jika ada kemauan bersama yang telah disepakati namun ada beberapa orang yang merasa berbeda pendapat maka orang itu tidak dapat dikatakan dipimpin atas kemauan bersama. Pemikiran Rousseau tentang negara, di mana konsep negara sangat abstrak, juga dapat mempengaruhi terwujudnya pemerintahan yang totaliter, diktator. Teori milik Rousseau menganut aliran pactum unionis.
Kelemahannya teori ini antara lain tidak berdasar historis dan setiap orang mau tidak mau terikat kontrak sosial, bukan sukarela. Namun, Rousseau seakan tidak konsekuen, dikarenakan ia mementingkan pungutan suara, padahal bersumber dari kwantitas. Selain itu, Rousseau tidak menjelaskan jika ada kemauan bersama yang telah disepakati namun ada beberapa orang yang merasa berbeda pendapat maka orang itu tidak dapat dikatakan dipimpin atas kemauan bersama. Pemikiran Rousseau tentang negara, di mana konsep negara sangat abstrak, juga dapat mempengaruhi terwujudnya pemerintahan yang totaliter, diktator. Teori milik Rousseau menganut aliran pactum unionis.
PERBANDINGAN KONTRAK SOSIAL
ROSSEAU DENGAN JOHN LOCKE
·
Asal usul Negara yang sama, yaitu kehidupan
individu bebas dan sederajat.
·
Teori Kontrak-nya sama-sama mengelompokkan manusia
pada dua masa, pra-negara dan bernegara. Keduanya juga memasukkan nilai
kemanusiaan pada pemikirannya.
·
Para penguasa menurut keduanya sama-sama berkurang
kekuasaannya, tidak mutlak. Jika Locke mengenal keterwakilan rakyat, di mana
legislatif merupakan amanah rakyat, tetapi Rousseau menginginkan rakyat sendiri
dan ini bukan ide cemerlang untuk negara besar.
·
Locke dan Rousseau sama-sama mengaburkan kekuasaan
judikatif, namun pemikiran Locke memiliki rangka untuk dikembangkannya Trias
Politika oleh Montesquieu.
PERBANDINGAN KONTRAK SOSIAL ROSSEAU DENGAN THOMAS
HOBBES
·
Teori Kontrak Sosial Rousseau dan
Hobbes sama-sama mengelompokkan manusia pada dua masa, pra-negara dan
bernegara.
·
Teori milik Rousseau yang menganut
aliran pactum unionis, sangat berkebalikan dengan versi Hobbes dengan pactum
subyectionis.
·
Konsep penguasa pada pemikiran Hobbes
yang tidak terikat janji berbeda dengan perjanjian yang mengikat semua pada
pemikiran Rousseau. Penguasa versi Rousseau hanya sekedar “pelayan” dari
kepentingan rakyat banyak, sedangkan menurut Hobbes sangat berkuasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar